Kekayaan 29 Taipan Sawit Rp1.264 Triliun, Menguasai 5,2 Juta Hektare

Kekayaan 29 Taipan Sawit Rp1.264 Triliun, Menguasai 5,2 Juta Hektare


Nusantara.news – Pada tahun 1900, sekitar 16 ribu orang Belanda mampu menguasai 35 juta orang pribumi Indonesia, dan di tahun 1930 dengan 240.000 orang Belanda atau sekitar 0,4% mereka menguasai 60 juta penduduk pribumi Indonesia yang disebut Inlander. “Kasta” Inlander berada di bawah kasta terendah setelah Eropa/Amerika Serikat (AS) dan Timur Asing (Cina). Persepsi mereka, Inlander hanya petani, nelayan, buruh, kuli, pelayan, dan kawula alit lainnya.
Sementara, etnis Cina yang merupakan partner pemerintahan Hindia Belanda, diberi kesempatan berdagang dan status sosialnya lebih tinggi dari pribumi.
Pada Sensus tahun 2014 etnis Cina merupakan 5% penduduk Indonesia tetapi menguasai 80% ekonomi Indonesia, pemilik 75% perusahaan publik yang terdaftar di Jakarta Stock Exchange (JSE), dan diperkirakan kekayaan 100 orang terkaya etnis Cina mencapai Rp 1.264 triliun. Begitu juga dengan industri kelapa sawit 80% dikuasai pengusaha etnis Cina, dengan luas kebun kelapa sawit yang mencapai 10 juta hektare (52% adalah milik swasta), rakyat 41%, dan BUMN hanya 7%.
Kontribusi kelapa sawit
Ekspor kelapa sawit pada tahun 2016 mencapai USD 19,6 miliar atau Rp 260 triliun, setoran Pajak sebesar Rp 79,5 triliun dan menampung tenaga kerja sebanyak 5,3 juta orang. Negara tujuan ekspor utama adalah India (5,8 juta ton), Uni Eropa (4,4 juta ton), Cina (3,2 juta ton), Pakistan (2 juta ton), AS (1.083 juta ton), dan Bangladesh (923.000 ton), serta 44 negara lainnya mencapai 7,7 juta ton. Rata-rata ekspor 75% – 80% produksi nasional.
Ada 4 juta tenaga kerja langsung terkait industri kelapa sawit Indonesia, atau sekitar 15-20 juta rakyat Indonesia yang bergantung hidupnya dari industri ini.
Studi dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menyebutkan ada 29 taipan pemilik 25 kelompok usaha sawit menguasai 5,2 juta hektare lahan, dan 3,1 juta hektare sudah ditanami. Total kekayaan taipan ini diperkirakan mencapai USD 69,1 miliar atau Rp 917 triliun, setara 45% dari APBN 2017 yang sebesar Rp 2.080 triliun.
Taipan tersebut adalah Sinarmas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group, dan Surya Dumai Group, memiliki 5,2 juta hektare dari 10 juta hektare lahan sawit di Indonesia, atau kurang lebih 20 kali luas Pulau Bali (520.000 hektare). Dari 25 taipan, memperoleh pinjaman bank mencapai USD 11,3 miliar atau Rp 150 triliun, bahkan USD 2,3 miliar berupa obligasi Rp 30,5 triliun. Tercatat, bank investasi juga sangat mendukung industri kelapa sawit Indonesia. Porsi sawit dalam pinjaman sektor pertanian cukup tinggi, mencapai 60% – 70%.
Resolusi Parlemen Eropa
Tudingan Uni Eropa bahwa sawit Indonesia berekses pada lingkungan, maka pada 7 April 2017  640 anggota perkebunan kelapa sawit Indonesia bersepakat bahwa penyebab utamanya adalah deforestasi dan kebakaran hutan di Indonesia. Merujuk dari Studi Komisi Eropa 2013, bahwa produksi kelapa sawit di Indonesia menyumbang sekitar 6 juta hektare dari 239 juta hektare kerusakan hutan global, dan berbuntut penghapusan sertifikasi sawit Indonesia, serta mengancam  ekspor sawit ke Uni Eropa yang mencakup sekitar 4,4 juta hektare perkebunan pada tahun 2016.
DPR-RI meminta resolusi tersebut dibatalkan karena komitmen Indonesia untuk perubahan iklim dan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goal) jelas, dan Kementerian Pertanian akan mengeluarkan Minyak Sawit Lestari (Indonesian Sustainable Palm Oil System = ISPO) sebagai standar nasional, seperti regulasi di Malaysia.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) mendukung lahirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kelapa Sawit. Sebagai komoditas strategis, Pemerintah seharusnya dengan sungguh-sungguh, karena merupakan andalan hidup bagi 15 juta – 20 juta rakyat Indonesia. Lalu DPR menyusun naskah akademik, dan saat ini telah menjadi program legislasi nasional (prolegnas) 2016. Pada tahun 2017 DPR sepakat dengan pemerintah bahwa RUU Kelapa Sawit menjadi RUU prioritas yang akan diselesaikan tahun ini.
Namun, menurut sebagian kalangan RUU Kelapa Sawit tumpang tindih dengan Undang-undang Perkebunan, dan resolusi parlemen Eropa “berbau” bisnis karena Eropa menyarankan minyak Canola dari biji bunga matahari yang penggunaannya lahan lebih efisien dibanding kelapa sawit. Eropa adalah konsumen terbesar sawit, jadi mereka ingin bunga Matahari (sunflower) dan minyak canola sebagai sumber alternatif sawit.
Indonesia dan Malaysia adalah produsen 85% sawit dunia, berjuang memprotes resolusi Eropa tersebut, karena signifikan pengaruhnya terhadap ekonomi di kedua negara. Namun lain bagi aktivis lingkungan yang merasa RUU tidak mengatur hak ulayat dan kejahatan korporasi, belum tegas dalam hal ketaatan pajak perusahaan-perusahaan pengelola sawit, dan cakupan Undang-undang Perkebunan yang lebih luas dari RUU Kelapa Sawit.
Tentunya, diminta agar Pemerintah lebih bijak, karena RUU Kelapa Sawit jangan hanya mengedepankan kinerja industri, tapi wajib mempertimbangkan masalah perubahan iklim dan masalah lingkungan hidup yang menjadi dasar kecaman. Terlebih, mengenai kemanfaatan untuk rakyat yang lebih luas, serta negara dan ketaatan terhadap pajak dan mencegah kejahatan korporasi yang menjadi isu sentral sehingga Parlemen Eropa membuat resolusi.
Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia
Indonesia adalah negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia untuk ekspor CPO (Crude Palm Oil = Minyak Sawit Mentah) pada tahun 2013, dengan produksi 28,5 juta ton (49%). Sementara Malaysia di tempat kedua 17,4 juta ton (33,5%), dan negara lainnya 120 juta ton (17,5%). Diperkirakan, total produksi CPO dunia di tahun 2013 mencapai 57,9 juta ton. Pulau Sumatera merupakan produsen terbesar kelapa sawit atau sekitar 78,5% dan Kalimantan 18%. Namun dari segi lahan, Sumatera hanya 45%, sementara Kalimantan 47% karena banyak yang belum ditanami, tumpang tindih dengan lahan batubara.
Hilirisasi kelapa sawit, 68% untuk refinary CPO, CPO 20%, Laudic 7%, Oleo Chemical 4%, sementara untuk bio-diesel sebagai ETB (Energi Terbarukan) baru sekitar 1% saja. Kelapa sawit diyakini dan diminati, karena diyakini yang paling efektif untuk produksi minyak nabati dan ratio lahan juga paling efisien dibanding kedelai, canola, dan gandum.
https://nusantara.news/wp-content/uploads/2017/06/james-morgan-indonesia-palm.jpg

Komentar